Content warning: cursing, violence, child abuse, physical abuse, suicide-issue.
Kami adalah belahan yang ditakdirkan untuk ditempatkan bersebelahan. Tidak bisa terpisah.
Sebentar, aku mau teriak dulu sebentaaaar aja.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA. INI APAAAAAAAAAAAAAAAAAAA? AKU HABIS BACA APA INIIIIIIIIIII? GELAAAP!! MANA LAMPUNYA?! HUUUUH HAH.
Bingung, binguuuuung banget. Aku bingung banget karena berkali-kali aku dibuat bengong selama baca buku ini, dan aku dibuat bertanya-tanya isi kepala Kak [a:Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie|5847500|Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie|https://s.gr-assets.com/assets/nophoto/user/u_50x66-632230dc9882b4352d753eedf9396530.png]. KOK BISA kepikiran buat bikin cerita yang seperti ini.
Cerita di buku ini bermula dari seorang anak kecil bernama Ava yang tinggal bersama Mama dan Papanya yang jahat. Mamanya di sini digambarkan sebagai ibu yang penyayang, tapi di mata Ava, ibunya ini beberapa kali melupakan dia. Sedangkan Papanya digambarkan sebagai sosok ayah yang penuh kekerasan dan membenci Ava, anaknya sediri. Sampai suatu hari, Kakek Kia yang mana adalah orangtua dari Papanya Ava meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang sepetinya cukup banyak buat Papanya Ava.
Berhubung Papanya Ava ini bukan orang yang bisa
manage uang dengan baik dan hobi berjudi, akhirnya mereka pindah ke sebuah rusun yang dekat dengan tempat perjudian, Rusun Nero.
Nah, semenjak kepindahan Ava dan keluarganya ini kisah petualangan juga gambaran-gambaran kerasnya kehidupan yang dilalui Ava dimulai.
Di Rusun Nero, Ava ketemu sama anak laki-laki yang namanya P. Nama yang aneh memang karena hanya terdiri dari satu huruf. P juga tinggal di Rusun Nero bersama Papanya yang juga jahat. Sampai pertemuan mereka ini kayak membawa Ava dan P menjadi dekat dan berujung pada kenyataan yang enggak disangka-sangka.
Buku ini dari awal sampai akhir menggunakan sudut pandang Ava sebagai anak kecil yang pintar, terutama dalam soal berbahasa Indonesia. Karena Ava senang mencari arti dari kata-kata baru yang dia dengar melalui sebuah kamus yang diberikan oleh kakeknya, Kakek Kia.
Tapi, kadang aku dibuat bingung dengan isi pikir juga hati Ava yang menurutku terlalu dewasa dari usianya yang cuma enam tahun. Entah karena memang dia tipikal yang selalu ingin tau ini dan itu atau dia memiliki pola pikir yang agak lebih dewasa karena terdesak oleh keadaan, dan itu kadang membuat aku merasa miris. Belum lagi sifat Ava yang seperti terlalu
attached sama P yang bahkan baru dikenalnya beberapa hari sampai-sampai dia rela buat meninggalkan Mamanya dan bersama P. Kalau kata pacarku,
"Kenapa si Ava ini bulol banget?!"Tapi, yang bikin hati aku makin merasa teriris lagi adalah penggambaran kehidupan P yang benar-benar terasa kejam. Seolah kita diajak melihat sisi buruk dari kehidupan seseorang yang membuat dia sampai merasa enggak diharapkan, dibuang, dan enggak punya siapa-siapa. Belum lagi kekerasan yang dialami P bikin aku hampir menangis, dan yang lebih bikin aku pengen nangis adalah ketika P mengajak Ava untuk
'pulang'. Merinding, banget, membayangkan anak sekecil itu sampai-sampai punya pemikiran demikian.
Buat aku, buku ini
dark banget kalau dibandingin sama
covernya yang sangat imut. Pembaca benar-benar diajak berkeliling sampai akhirnya bertemu dengan
plot twist yang bisa bikin mulut menganga sekaligus hati yang teriris.
Terlalu gelap, aku butuh lampu.Bagaimana bisa seorang anak kecil sampai terpikirkan buat
bunuh diri? Sekejam apa hidupnya sampai seorang anak kecil memilih untuk
mati?