Mungkin jika saya punya impresi pertama yang bagus kepada Ziggy, saya tidak akan terlalu sinis membaca buku ini. Awalnya saya berniat memberikan bintang 1, tetapi saya lumayan suka beberapa penggalan-penggalan di dalamnya.

Bagi yang bingung dengan tema buku ini, dalam kulit kacang: perempuan. Ini buku tentang perempuan, kelahiran perempuan, kehidupan perempuan, rasa sakit perempuan, kematian perempuan, dan perempuan di hidup perempuan lain atau yang bukan perempuan.

"Tiga dalam Kayu" terbagi atas dua bagian. Bagian pertama adalah kumpulan bab ditandai sebagai "buku 1", "buku 2", dst. dengan tokoh berbeda-beda. Baguan kedua fokus pada satu tokoh, yaitu "aku"—sebenarnya seorang pak tua—pada bab dengan judul anagram (atau mungkin hanya omong kosongnya Ziggy).

Untuk memahami bagian pertama mengapa ditulis seperti itu, kalian harus memahami ucapan gadis di perpustakaan pada bagian kedua. Dan juga monolog si Aku di halaman 140; sejarah yang diajarkan bukanlah tentang orang, tapi tentang "semua orang". Mungkin karena itu, tidak banyak yang kita pelajari dari sana tentang bagaimana memperlakukan orang. Pandangan untuk melihat sejarah tidak sebagai kolektif, tetapi satuan individual dan fokus tidak pada orang-orang besar, melainkan orang-orang kecil adalah aliran pemahaman posmodernisme sejarah. Cara pandang ini tidak melihat sejarah dari tokoh terkenal sebagai suatu glorifikasi, tetapi lebih manusiawi. Menyorot tokoh yang kurang dikenal. Dalam perpanjangan tangannya ialah perempuan.

"Tiga dalam Kayu" bukan contoh prima dari novel beraliran absurdisme. I've seen better. Contohnya, "Di Jok Belakang" karya Lamia Putri Damayanti. Namun, itu masalah preferensi. Dan kebetulan buku ini bukan. Bagia kalian yang bingung membacanya, jangan merasa inferior dan bodoh. Novel absurdis memang seperti itu. Tidak untuk dibaca sekali dua kali.